Istilah “perceraian” termaktub dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memuat mengenai ketentuan fakultatif bahwasannya “perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan”.9 Istilah perceraian berdasarkan pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif tentang perceraian menunjukkan bahwa adanya:
- Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan diantara mereka;
- Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung diterapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa;
- Putusan hakim yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.
Perceraian menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipahami sebagai “perkawinan yang putus”. Jadi perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berarti “ikatan jasmani dan rohani antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan seperti suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal.berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan batin dan jasmani antara suami dan istri, sehingga mengakibatkan putusnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara istri dan suami.
Cerai Ghaib Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perceraian ghaib, juga dikenal sebagai perceraian mafqud, secara harfiah dapat dipahami dalam bahasa Arab sebagai “hilang”. Kita dapat mengatakan bahwa sesuatu itu hilang jika tidak ada atau hilang. Berdasarkan istilah mafqud dapat diterjemahkan menjadi al-ghoib. Kata ini secara bahasa berarti misterius, tidak ada, tersembunyi, terkutuk. Nomor yang hilang dalam hal ini terbagi menjadi dua jenis , yaitu sebagai berikut:
- Hilang yang tidak terputus karena diketahui tempatnya dan ada berita atau informasi tentangnya.
- Hilang yang terputus, yaitu yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya serta tidak ditemukan informasi tentangnya.
Dalam hukum Islam dikenal fasakh karena suami ghaib (al mafqud), yaitu suami yang meninggalkan rumah tetapnya dan kita tidak dapat mengetahui kemana mereka pergi atau dimana mereka tinggal dalam satu waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan menyulitkan kehidupan istri yang ditelantarkan, apalagi jika suami tidak bertanggung jawab meninggalkan nafkah untuk kehidupan istri dan anak-anaknya. Menurut kamus fiqh, istilah mafqud adalah orang yang tersesat dan tampak menjadi korban suatu kecelakaan, yang kemudian dapat diartikan sebagai orang yang meninggalkan keluarga pada malam atau siang hari atau keluar rumah untuk shalat atau pergi ke tempat terdekat dan kemudian tidak pernah kembali atau menghilang selama adegan pertempuran.
Proses penyelesaian perkara cerai ghaib mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, atau dikarenakan suatu hal lain diluar kemampuan.
Hal tersebut pengaturannya tercantum dalam pasal 45 KHI Tentang Talik Talak yang menyebutkan, bahwasannya kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum Islam. Terdapat pula rumusan taklik talak yang sudah mengikuti Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 411 Tahun 2000 didalamnya memuat ketentuan sebagai berikut:
“Apabila saya :
- Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
- Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
- Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
- Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih;
Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak
saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang iwadh (pengganti) tersebut dan menyerahkannya untuk keperluan ibadah sosial.”
Dasar Hukum Cerai Ghaib
Berikut beberapa ketentuan khusus yang mengatur tentang cerai gaib yang ada di Indonesia. Dasar hukum mengenai cerai ghaib sebagai berikut:
- Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44);
- Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan terakhir kalinya oleh Undang-Undang No. 50 Tahun 2009;
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Artikel terkait Perceraian: Alasan Perceraian yang mudah dikabulkan Hakim