Dalam perdata Barat, “hukum waris” adalah istilah yang dikenal sebagai Erfrecht. Menurut Pasal 830 KUHPerdata, hukum waris mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama ketika harta tersebut berpindah kepada orang lain. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak untuk memiliki harta peninggalan, juga dikenal sebagai tirkah. Hukum Waris ini juga menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian yang mereka terima.

waris

Hukum Waris Beda Agama Menurut KUHPer

Adapun empat golongan yang dapat mewarisi menurut KHUPer yaitu sebagai berikut:

  1.   Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
  2.   Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
  3.   Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
  4.   Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Pasal 832

Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.

KUHPerdata tidak mengatur pewarisan beda agama atau larangan bagi ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si pewaris jika ada perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris.

Hukum Waris Beda Agama Menurut Hukum Islam

Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam memang tidak secara tegas mengatur adanya hukum mewaris antara umat Islam dengan umat yang berbeda keyakinan dengan agama Islam.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI), “perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris menjadi penghalang terjadinya proses kewarisan”, Kompilasi Hukum Islam lebih banyak merujuk pada pendapat para ulama klasik dalam hal hak waris beda agama.

Hingga saat ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memiliki pasal yang secara spesifik melarang pewarisan bagi ahli waris atau pewaris yang tidak setuju agama. Pasal 173 KHI hanya menyebutkan dua situasi di mana seseorang tidak dapat mewarisi harta peninggalan milik pewaris: seseorang yang telah terbukti bersalah atas pembunuhan atau fitnah pewaris.

Namun berdasarkan hadis Rasulullah Saw yang berbunyi “tidak ada warisan bagi seorang muslim kepada orang kafir, dan tidak ada warisan pula dari orang kafir kepada orang muslim”. Adapun menurut letentuan dalam KHI sangat tegas bahwa “hak kewarisan/ harta waris otomatis terputus ketika berkaitan dengan perbedaan agama”. Aturan dalam KHI mendasarkan seutuhnya pada pendapat ulama klasik khususnya Imam Syafi’i.

Menurut hadist tersebut, saling mewarisi dilarang jika pewaris dan ahli waris tidak seagama. Selain itu, dalam KHI, “pewaris” berarti seseorang yang meninggal atau dinyatakan meninggal oleh pengadilan Islam dan meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.Namun, ahli waris dalam Hukum Islam (KHI) adalah orang yang pada saat meninggal dunia memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris dan beragama Islam, dan tidak dilarang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. KHI tidak secara eksplisit membatasi perbedaan agama dalam pewarisan, tetapi seperti yang disebutkan di atas, pewaris dan ahli waris harus beragama Islam.

Baca Juga: bisakah menolak hutang orang tua yang diwariskan?

PUTUSAN HAK WARIS UNTUK ANAK DAN ORANG TUA BEDA AGAMA

Mahkamah Agung telah mengeluarkan suatu yurisprudensi untuk mengatur mengenai hukum ahli waris nonmuslim yaitu dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 dan Nomor 16/K/AG/2010, yang menegaskan bahwa ahli waris beda agama tetap memperoleh harta waris dengan melalui wasiat wajibah dengan perolehan hak waris ahli waris beda agama bagiannya tidak lebih dari 1/3 harta warisan. Sehingga dalam hukum Islam, ahli waris nonmuslim yang berbeda agama dengan pewaris yang beragama Islam tetap mendapatkan haknya sebagai ahli waris melalui wasiat wajibah.

Wasiat wajibah merupakan kebijalan penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.130 Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang wafat, karena adanya suatu halangan syara. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *