Perceraian suami istri berdampak langsung terhadap kehidupan anak, termasuk tumbuh kembangnya, khususnya anak yang belum dewasa. Idealnya, dalam masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, khususnya anak yang belum matang, membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Namun karena perceraian, tidak jarang anak-anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang, bahkan tidak jarang hak-hak anak mereka tidak dihormati. Permasalahan yang sering muncul pasca perceraian berkaitan dengan kewajiban orang tua, salah satunya adalah tidak terpenuhinya nafkah anak sehingga kebutuhan sehari-hari anak tidak dapat tercukupi. Faktanya, sering kali melihat ayah tidak memenuhi kewajiban orang tua terkait nafkah yanh harus dipenuhi setelah perceraian. Penafkahan berasal dari kata dasar nafkah yang berarti proses, cara dan tindakan pemberian dukungan. Mata pencaharian mencakup semua kebutuhan tergantung pada kondisi dan lokasi, seperti perumahan, makanan, pakaian, dll. Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak, pengasuhan orang tua sangatlah penting meskipun orang tuanya bercerai. Memang karena perceraian, anak perlu diberi perhatian lebih agar tidak merasa kehilangan perhatian orang tua. Tidak jarang para ayah melupakan kewajibannya terhadap anaknya setelah bercerai utamanya adalah perihal nafkah, apalagi ketika ayah dari anak tersebut menikah dan memulai sebuah keluarga baru tak jarang seorang ayah lupa untuk memberikan nafkah kepada anaknya.
Kewajiban Ayah dalam menafkahi anak Pasca Perceraian
Kewajiban orang tua kepada anak telah diatur dalam Pasal 45 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dikatakan bahwa:
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Dari pasal tersebut, jelas bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sekalipun hubungan perkawinannya telah putus karena perceraian. Pemeliharaan yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah:
- Tanggung jawab orang tua dalam mengawasi, memberi pelayanan yang seharusnya dan kebutuhan hidup anak tercukupi oleh orang tua.
- Tanggung jawab berupa pengawasan, pelayanan dan pencukupan nafkah diatas bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai umur yang dewasa dan dapat berdiri sendiri.
Sedangkan tanggung jawab pendidikan tersebut di atas merupakan kewajiban orang tua untuk menjamin pendidikan dan pengasuhan anaknya agar anak mempunyai kemampuan dan kontribusi yang harus dipersiapkan dengan keahlian dan keterampilan sesuai dengan bakat anak,yang pada gilirannya akan menjadi tanggung jawab orang tua, dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat di pusat kehidupan setelah anak lepas dari tanggung jawab orang tua. Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 38 ayat (1) perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Dengan terjadinya perceraian maka melahirkan akibat hukum diantaranya:
- Terhadap kedudukan, hak, dan kewajiban suami-isteri
Setelah terjadinya perceraian maka kedudukan, hak, dan kewajiban menurut Pasal 41 huruf c Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bahwa pengadilan akan membebankan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan bagi mantan istrinya.
2. Terhadap harta bersama
Mengenai akibat hukum terhadap harta bersama ini diatur dalam Pasal 37 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana disebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Ini berarti dalam pelaksanaannya, antara suami dan istri memiliki kebebasan untuk memilih hukum apa yang hendak digunakan.
3. Terhadap anak
Terjadinya perceraian juga menyebabkan akibat hukum terhadap anak yang mana tidak membuat kedua orang tua menjadi lepas tanggung jawab kepada anak mereka. Menurut Pasal 41 Undang Undang Nomor 1974 tentang Perkawinan menegaskan bahwa baik bapak ataupun ibu tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka.
Akibat Hukum Apabila Ayah Tidak Memberikan Nafkah Kepada Anak
Ayah sebagai orang tua anak mempunyai kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak selama perkawinan maupun setelah putusnya perkawinan karena perceraian. Kegagalan ayah dalam menafkahi anak setelah perceraian melanggar ketentuan Pasal UU Perkawinan. Apabila setelah putusnya perkawinan ternyata sang ayah tidak melakukan atau melanggar kewajibannya sebagai orang tua, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam dan ke Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam. Dalam hal orang tua lalai melakukan kewajibannya setelah terjadi perceraian, maka dapat diupayakan hal-hal berikut ke pengadilan:
1. Permohonan Eksekusi
Apabila pihak yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan sukarela atau dengan sengaja meninggalkan maka atas putusan perceraian tersebut dapat dilakukan permohonan eksekusi.
2. Ketua Pengadilan Melakukan Penetapan
Penetapan ini berisi perintah untuk memanggil termohon eksekusi agar hadir dalam sidang penetapan. Dalam sidang tersebut Ketua Pengadilan akan memberikan peringatan dalam jangka waktu 8 hari setelah peringatan untuk melakukan putusan, dan jika tidak dilaksanakan maka pemohon eksekusi akan melapor kepada Pengadilan, dan Ketua Pengadilan akan membuat perintah untuk eksekusi
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1), UU No. Pasal 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa setiap orang tua dapat mempunyai wewenang atas seorang anak atau lebih untuk menarik diri untuk jangka waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga inti dan saudara laki-laki, saudara kandung anak tersebut atau pejabat yang diberi kuasa berdasarkan penetapan pengadilan. dalam kejadian hal-hal: dia sangat lalai terhadap kewajibannya terhadap anak-anaknya; dia berperilaku sangat buruk. Hal ini dengan jelas mengatur akibat dari kelalaian atau tidak dipenuhinya tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, khususnya perampasan hak orang tua terhadap anaknya. Namun setelah hak asuh dicabut, orang tua tidak dibebaskan dari kewajibannya sebagai orang tua mengenai hak asuh, sesuai Pasal 49 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Batas Kewajiban Menafkahi Anak Dalam Islam
Kewajiban menafkahi anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa.Para Imam Madzhab berbeda pendapat tentang anak yang sudah dewasa, tetapi miskin dan tidak mempunyai pekerjaan. Menurut Imam Hanafi, nafkah bagi anak yang sudah dewasa dan sehat dari orang tuanya menjadi gugur. Tetapi nafkah bagi anak perempuan dari orang tuanya tidak menjadi gugur kecuali ia sudah menikah. Demikian pula pendapat Imam Maliki, namun beliau mewajibkan ayah untuk tetap menafkahi anak perempuannya sampai suaminya turun tangan. Bertentangan dengan pandangan Imam Syafi’I, membesarkan anak yang sudah dewasa tidak termasuk kewajiban orang tua, baik anak itu laki-laki maupun perempuan. Lebih lanjut Imam Hambali mengatakan, membesarkan anak yang sudah dewasa tetap menjadi tugas ayah jika anak tersebut belum memiliki harta dan pekerjaan. Namun para imam madzhab sepakat bahwa jika seorang anak sudah dewasa tetapi sakit, maka pengasuhannya tetap menjadi tanggung jawab ayahnya. Jika penyakitnya sembuh, lalu penyakitnya kembali lagi, maka kewajiban menafkahi kebutuhan itu menjadi tanggung jawab ayah, kecuali menurut pendapat Imam Maliki yang menegaskan bahwa hal itu tetap menjadi kewajibannya sendiri.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, batas waktu pemberian nafkah adalah sehingga anak itu berusia 21 tahun seperti yang dijelaskan pada pasal 156 huruf (d) tentang akibat perceraian, bahwa semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus sendiri (21 tahun).
Baca Artikel Terkait: Pembagian Harta dan Hak Asuh Anak