DEFINISI ISBAT NIKAH
Isbat nikah merupakan suatu penetapan, pembuktian atau pengabsahan dari pengadilan terhadap pernikahan yang telah dilakukan dengan alasan-alasan terterntu. Isbat nikah ini ditempuh oleh pasangan suami istri yang telah melangsungjkan pernikahan yang sah secara agama atau secara hukum agama untuk dapat diakui oleh negara atas pernikahan yang telah dilaksungkan oleh pasangan suami istri beserta anak-anak yang telah lahir selama pernikahan, hal ini ditujukan agar pernikahannya mendapatkan kekuatan hukum yang kuat.
Pengesahan perkawinan adalah suatu perkawinan dimana para pihak mengajukan ke pengadilan karena mereka mempunyai masalah tentang sahnya syarat nikah pada saat mereka menikah. Kemudian mereka dapat meminta permohonan itsbat berdasarkan ketentuan KHI dalam Pasal 7 ayat 3 huruf (c), itsbat nikah yang bisa dimohonkan di Pengadilan Agama tertentu hanya berkenaan dengan huruf (c) yaitu adanya keraguan terhadap rukun dan syarat sah nikah dengan perkawinanan yang dilangsungkan sudah sah atau tidak. Sehingga majelis hakim dapat mengesahkan perkawinan tersebut dengan tidak memiliki halangan nikah yang dilanggar sesuai dengan syariat islam.
DASAR HUKUM ISBAT NIKAH
Dasar hukum dari isbat nikah adalah BAB XIII Pasal 64 ketentuan peralihan Undang-Undang Perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undan-Undang ini berlaku yang dijadikan sah menurut peraturan lama. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I Pasal 7, yang termuat dalam Pasal 64 Undan-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan Isbat Nikah.
Seperti yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 Ayat 1, 2, dan 3 menyebutkan:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.
- Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat di ajukan isbat nikahnya ke pengadilan agama
- Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama teratas mengenai hal-hal yang berkenan dengan:
- Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, artinya suatu pernikahan yang dilangsungkan tanpa dicatatkan pernikahannya dahulu di KUA, sehingga pada saat mengajukan perceraian di pengadilan agama, maka para pemohon harus mengitsbatkan perkawinannya terlebih dahulu untuk memiliki buku nikah serta salah satu persyaratan mengajukan perceraian di pengadilan agama
- Hilangnya akta nikah, artinya suatu perkawinan yang pada umunya setelah pasangan suami dan istri mendaftarkan perkawinannya di KUA dan mendapat akta perkawinan sebagai bukti tertulis bahwa perkawinan tersebut sah namun, akta nikah hilang seiring berjalannya waktu, dan suami istri wajib memohonkan pengesahan nikah pada Pengadilan Agama setempat untuk memiliki buku nikah kembali.
- Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, artinya suatu pernikahan yang terjadi dengan pasangan suami isteri akan tetapi masih mempunyai keraguan terhadap perkawinannya tentang belum terpenuhinya rukun nikah, sehingga para pemohon memutuskan untuk mengesahkan perkawinannya di pengadilan agama setempat untuk mendapatkan kepastian bahwa perkawinannya sudah sah menurut agama dan hukum.
- Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hal ini mengacu pada pernikahan yang dilakukan sebelum disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pencatatan nikah, sehingga belum dicatatkan di KUA. Kemudian Pernikahan wajib didaftarkan di Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan buku kutipan akta nikah dan menyatakan bahwa pernikahannya itu sah.
- Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Baca Juga : Begini Tata Cara Permohonan Dispensasi Kawin Untuk Pernikahan Dibawah Umur
Sesuai pada ketentuan tersebut, perkawinan yang belum dicatatkan dan terjadi sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sehingga pernikahan itu dapat dimaklumi dikarenakan belum ada aturan terkait hal itu. Sehingga hakim memiliki kekuatan hukum serta alasan untuk mengabulkan permohonannya pada saat proses sidang yaitu di bagian pembuktian dengan membuktikan jika perkawinannya sah sesuai syariat dikarenakan sudah sesuai dengan rukun serta syarat sah pernikahan dalam syariat islam serta tidak mempunyai hambatan atau larangan yang tidak terpenuhi baik larangan dalam agama ataupun menurut undang-undang sehingga menyebabkan perkawinannya tidak dicatatkan dengan baik.
Adanya permohonan itsbat nikah di pengadilan dikarenakan terdapat ketidakyakinan mengenai perkawinan tersebut, sehingga perkawinan yang dilaksanakan dahulu menimbulkan keraguan pada pasangan suami dan isteri tentang sah atau tidaknya perkawinannya. Sehingga mereka bisa melakukan pengajuan permohonan itsbat nikah dengan mengacu dengan KHI pada Pasal 7 ayat 3 huruf (c) bahwa permohonan itsbat nikah hanya tentang yang didasarkan huruf (c). Terdapat perasaan tak yakin mengenai sah ataupun tidaknya.
Dalam menetapkan perkara permohonan itsbat nikah, hakim harus mempertimbangkan secara benar, sehingga dengan disahkannya perkawinan dapat mendatangkan kebaikan atau bahkan kerugian bagi keluarga dengan memeriksa latar belakang perkawinan para pemohon, dengan sesuai rukun nikah, serta pemohon tidak memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain, dari sini hakim akan mempertimbangkan permintaan pengesahan nikah akan diterima ataupun ditolak.