Status Harta Hibah dalam Pembagian Hak Waris menjadi permasalahan warisan sering kali menjadi satu problem yang sering terjadi dalam masyarakat. pemicunya juga beragam padahal permasalahan warisan termasuk dalam permasalahan yang privat dan hanya terjadi dalam internal keluarga. Meskipun sering kali permasalahannya dapat muncul dari pihak eksternal. Salah satu penyebab perseteruan warisan adalah adanya transaksi hibah atau pemberian antar anggota keluarga, hal ini dapat memicu adanya perseteruan antar ahli waris.
Adapun pengertian hibah menurut hukum perdata disebutkan dalam Pasal 1666 KUHPer:
“Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
Pengertian hibah menurut Pasal 171 huruf g Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam/KHI adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pelaksanaan pemberian harta hibah harus dilakukan dengan akta notaris kecuali pemberian hadiah dari tangan ke tangan secara langsung (Pasal 1682 KUHPer). Selain itu berdasarkan berdasarkan KUHPer tidak ada jangka waktu untuk dapat menarik barang hibah atau dapat diartikan tidak bisa dilakukan pengembalikan barang hibah karena benda yang telah dihibahkan tidak bisa ditarik kembali. Hal ini sejalan dengan hibah dalam hukum Islam bahwa harta hibah tersebut juga tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya (Pasal 212 KHI).
Status dan Eksekusi Harta Hibah Dalam Pembagian Warisan

Namun, walaupun tidak bisa ditarik kembali atau dikembalikan untuk kepentingan waris, status harta hibah dapat “diperhitungkan kembali” nilainya ke dalam total harta peninggalan seolah-olah belum dihibahkan hal ini diatur dalam Pasal 916a sampai Pasal 929 KUHPer. Ketentuan ini berkaitan dengan legitime portie yaitu agar jangan sampai harta hibah yang pernah diberikan, mengurangi bagian mutlak yang seharusnya dimiliki oleh ahli waris.
Hal ini juga sejalan jika menggunakan metode Mashlahah Mursalah maka dalam pasal 211 Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.” bukan berarti harus, melainkan salah satu alternatif yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa ahli waris.
Hal tersebut dapat dilakukan apabila orang tua memberikan harta hibah kepada salah satu anaknya sedangkan anak yang lain belum menerima hibah sehingga anak yang tidak menerima hibah merasa dirugikan dan menuntut adanya ketidakadilan. Ketika orang tua meninggal dunia, maka hibah yang sudah diterima dapat diperhitungkan sebagai warisan
Berdasarkan Pasal 920 KUHPer, ahli waris dapat melakukan tuntutan pengurangan terhadap hibah dalam hal bagian mutlak yang seharusnya para ahli waris terima tidak terpenuhi. Bunyi Pasal 920 KUHPer yaitu:
“Pemberian-pemberian atau hibah-hibah, baik antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi pada waktu terbukanya warisan itu, tetapi hanya atas tuntutan para legitimaris dan para ahli waris mereka atau pengganti mereka. Namun demikian, para legitimaris tidak boleh menikmati apa pun dan pengurangan itu atas kerugian mereka yang berpiutang kepada pewaris”
Pembagian waris dalam KUHPerdata ini mengenal golongan-golongan waris yaitu:
- Ahli waris golongan I : Anak-anak atau sekalian keturunannya & suami/istri yang hidup lebih lama (lihat Pasal 852 KUHPerdata)
- Ahli waris golongan II : Ayah, Ibu, saudara-saudara atau keturunannya (lihat Pasal 854 KUHPerdata)
- Ahli waris golongan III: Sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (lihat Pasal 853 KUHPerdata)
- Ahli waris golongan IV : Sanak saudara dalam garis yang lain yaitu para paman dan bibi dan sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris (lihat Pasal 858 KUHPerdata).
Keempat golongan tersebut tidak bersifat alternatif melainkan bersifat saling menutup atau menggantikan tempat. Jadi, berdasarkan urutannya, golongan I yang paling berhak atas harta warisan saat pewaris meninggal. Apabila tidak ada ahli waris yang dapat mewaris dari golongan I, maka harta warisan menjadi hak golongan II, demikian seterusnya.